kotabontang.net - Sunnah-Sunnah Sebelum Shalat Hari Raya
Berikut beberapa sunnah-sunnah yang hendaknya dilakukan sebelum shalat hari raya,
1. Mandi
Ketahuilah bahwasanya tidak shahih semua hadits dari Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang berkaitan tentang mandi dalam shalat dua hari raya. Imam al-Bazzar -rahimahullah- mengatakan, “Saya tidak mengetahui hadits shahih tentang mandi dua hari raya.” [1]
Akan tetapi, terdapat beberapa atsar dari sebagian sahabat yang menunjukkan hal ini. Di antaranya ialah dari Abdullah bin Umar -radliyallahu’anhuma- bahwasanya beliau mandi di hari raya Idul Fithri ketika hendak pergi ke lapangan.[2]
2. Berpakaian bagus
Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauiyyah -rahimahullah- berkata, “Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- memakai pakaian terbagusnya untuk shalat hari raya. Beliau mempunyai pakaian khusus untuk shalat hari raya dan shalat Jum’at….”[3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Ibnu Umar -radliyallahu’anhuma- memakai pakaian terbagusnya untuk shalat dua hari raya.” [4]
Imam Malik -rahimahullah- mengatakan, “Saya mendengar ahli ilmu, mereka mensunnahkan seorang memakai minyak wangi dan pakaian bagus pada setiap hari raya” [5]
3. Makan sebelum Idul Fithri
Sampai di sini, perlu kita renungkan hadits berikut:
عَنْ أَنَسٍ -رضي الله عنه- كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ
Dari Anas bin Malik -radliyallahu’anhu- berkata, “Rasulullah tidak berangkat pada Idul Fithri hingga beliau memakan beberapa kurma.” [6]
4.Tidak makan sebelum Idul Adha
Dari Buraidah -radliyallahu’anhu- berkata, “Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak keluar pada Idul Fithri hingga makan terlebih dahulu. Adapun pada Idul Adha beliau tidak makan hingga pulang dari makan dari daging kurban sembelihannya” [7]
Sampai di sini, perlu kita renungkan hadits berikut:
عَنْ بُرَيْدَةَ -رضي الله عنه- قال: كَانَ النَّبِيُّ -صلّى الله عليه و سلّم- لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ، وَيَوْمَ النَّحْرِ لاَ يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ نَسِيكَتِهِ
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Demikianlah pendapat mayoritas ahli ilmu seperti Ali radliyallahu’anhu, Ibnu Abbas radliyallahu’anhuma, Syafi’i rahimahullah, dan sebagainya. Saya tidak mendapati perselisihan pendapat tentangnya.” [8]
5. Berjalan Kaki
عَنْ عَلِيِّ -رضي الله عنه- قاَلَ: مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى الْعِيْدِ مَاشِيًا
Dari Ali radliyallahu’anhu berkata, “Termasuk sunnah yaitu engkau keluar shalat hari raya dengan berjalan kaki”.[9]
Hikmahnya banyak sekali, diantaranya lebih menyemarakkan syi’ar Islam, merendahkan diri dan tidak sombong, menjalin kebersamaan, dan tidak menganggu orang yang berjalan. Adapun kalau ada udzur, seperti tempat lapangannya jauh, sudah tua, atau sakit, maka boleh berkendaraan. Wallahua’lam
6. Menempuh jalan yang berbeda
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ -رضي الله عنه- قاَلَ: كاَنَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- إِذَا كَانَ يَوْمِ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقِ
Dari Jabir bin Abdillah radliyallahu’anhuma berkata, “Rasulullah apabila (berangkat dan pulang) pada hari raya mengambil jalan yang berbeda”.[10]
7. Takbir
“Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- apabila pada hari raya Idul Fithri, beliau bertakbir hingga sampai di lapangan dan melaksanakan shalat. Apabila selesai shalat maka beliau memutus takbirnya”.[11]
Syaikh Muhaddits al-Albani -rahimahullah- mengomentari hadits di atas, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang disyariatkannya takbir secara keras ketika berjalan menuju lapangan sebagaimana dikerjakan oleh kaum muslimin, sekalipun mayoritas mereka sudah mulai meremehkan sunnah ini…Akan tetapi, perlu kami sampaikan bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyariatkan secara bersama-sama dengan satu suara (dikomando) sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan dengan suara keras atau lirih, maka tidak boleh dikerjakan secara jama’i (bersama-sama) dengan satu suara. hendaknya kita waspada terhadap hal tersebut dan selalu kita ingat bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -shallallahu’alaihi wa sallam-.[12]
Dan tidak ada sifat takbir yang shahih dari Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-. Hanya, terdapat beberapa riwayat dari sahabat, diantaranya dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu’anhu:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ
Inilah yang lebih msyhur yaitu membaca lafazh “Allahu Akbar” sebanyak dua kali, sekalipun shahih pula membacanya sebagak tiga kali. [13]
Ibnu Abbas -radliyallahu’anhuma-:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ
اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا
Salma al-Khair -radliyallahu’anhu-:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Footnote:
[1]. Dinukil oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis 2/607
[2]. HR. Malik dalam al-Muwatha’ (1/177), Syafi’i dalam al-Umm (1/265) dan dishahihkan an-Nawawi dalam al-Majmu’ (5/6). Lihat pula atsar lainnya dalam Irwa’ul Ghalil 1/176 oelh Al-Albani
[3]. Zadul Ma’ad (1/441). Lihat pula Silsilah as-Shahihah No. 1279 oleh Al-Albani
[4]. Fathul Bari 2/439
[5]. Al-Mughni 2/228 oleh Ibnu Qudamah
[6]. HR. Bukhari No. 953
[7]. Hasan. Riwayat Tirmidzi No. 542, Ibnu Majah No. 1756, ad-Darimi 1/375, dan Ahmad 5/352
[8]. Al-Mughni 3/259
[9]. Hasan. Riwayat Tirmidzi No. 530, Ibnu Majah No. 161; dihasankan al-Albani dengan syawahidnya dalam shahih Tirmidzi 1/164
[10]. HR. Bukhari No. 986
[11]. HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dan al-Mahamili dalam Kitab Shalah al-‘Idain dengan sanad shahih mursal tetapi hadits ini memiliki syawahid sehingga menjadi kuat. Lihat ash-Shahihah No. 170.
[12]. Silsilah Ahadits ash-Shahihah 1/121
[13]. Lihat Irwa’ul Ghalil 3/125-126 dan Tamamul Minnah hlm 356
Disalin dari Panduan Lengkap Puasa Ramadhan menurut al-Quran dan Sunnah, oleh Ustadz Syahrul Fatwa dan Ustadz Yusuf bin Mukhtar, hlm 127-131