kotabontang.net - Hindari Koran, Tadabburi Al-Qur’an
Oleh. Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
Sekarang ini membaca koran sudah menjadi rutinitas yang nyaris tidak bisa ditinggalkan oleh manusia. Dimana-mana tersedia bacaan yang satu ini, di rumah, kantor, restoran, warung, bahkan sebagian orang ada yang menyempatkan diri membaca koran di toilet. Seakan koran sudah seperti bacaan wajib bagi mereka. Sikap yang berbeda mereka tujukan untuk al-Qur’ân, sebuah kitab yang menjadi pedoman hidup. Al-Qur’ân nyaris tidak tersentuh, apalagi diperhatikan. Mereka lebih hafal nama koran, atau tokoh-tokoh dalam koran daripada nama surat-surat al-Qur’ân. Bahkan lebih ironinya lagi, banyak dari mereka yang tampak tekun memelototi koran, ternyata tidak bisa baca al-Qur’ân. Sebegitu pentingkah berbagai sajian koran bagi mereka ? Sehingga rela meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk membaca dan mengikuti buah tangan para wartawan.
Allâh Azza wa Jalla telah menyediakan bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bacaan yang sangat berkualitas, berisi hidayah yang menunjukkan hal-hal terbaik bagi mereka. Membacanya adalah ibadah yang berbuah pahala, bahkan pada setiap huruf dihitung satu pahala.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ آلم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitabullah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim adalah satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, laam itu satu huruf, dan miim itu satu huruf” [1]
Al-Qur’an adalah bacaan yang tidak ada kebohongan dan kebatilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang. Sebuah bacaan yang akan mendatangkan ketenangan jiwa dan kekhusyukan hati. Itulah al-Qur’ânul Karîm, Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi-Nya yang terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Membaca al-Qur’ân adalah ibadah yang tidak selayaknya diremehkan apalagi ditinggalkan oleh seorang Muslim. Membaca al-Qur’ân termasuk dzikrullâh yang sangat agung. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan pahala dan keutamaan yang sangat besar bagi orang yang senantiasa membaca dan mempelajari al-Qur’ân.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allâh dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”. [Fâthir/35:29-30]
Dan Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kita supaya membacanya dengan tartil dan sungguh-sungguh.
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah al-Qur’ân itu dengan tartil (perlahan-lahan)”. [al-Muzammil/73:4].
“Orang-orang yang telah Kami berikan al kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya”. [al-Baqarah/2:121]
Yaitu membacanya dengan memperhatikan hukum-hukum tajwîd, kaidah-kaidah bacaan, mentadabburi kandungan dan mengamalkan isinya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menganjurkan kita untuk senantiasa membaca, mentadabburi, mempelajari, mengajarkan dan memperhatikannya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya”.[2]
Bahkan kalaupun belum lancar, kita tetap dianjurkan untuk membacanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir membaca al-Qur’ân akan bersama rombongan Malaikat yang mulia lagi terpuji. Dan orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan mendapatkan dua pahala”. [3]
Dan dengan membaca al-Qur’ân, seorang mukmin akan terbedakan dengan fasik, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الَّذِي لَا يَقْرَأُ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا
“Perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Qur’ân adalah seperti al-utrujjah (sejenis jeruk), aromanya harum dan rasanya enak. Dan perumpamaan seorang mukmin yang tidak membaca al-Qur’ân adalah seperti buah kurma yang tidak memiliki aroma tapi manis rasanya. Perumpamaan seorang fasiq yang membaca al-Qur’ân seperti ar-raihaanah, aromanya wangi tapi rasanya pahit dan perumpamaan seorang fasiq yang tidak membaca al-Qur’ân seperti al-hanzhalah, rasanya pahit dan tidak memiliki aroma”.[4]
Disamping itu, al-Qur’ân juga akan menjadi pemberi syafa’at baginya pada hari Kiamat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَجِيءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya”. [5]
Setiap kali membaca al-Qur’ân, seorang Mukmin akan naik derajatnya satu tingkatan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَجِيءُ الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ حَلِّهِ فَيُلْبَسُ تَاجَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ زِدْهُ فَيُلْبَسُ حُلَّةَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ ارْضَ عَنْهُ فَيَرْضَى عَنْهُ فَيُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَارْقَ وَتُزَادُ بِكُلِّ آيَةٍ حَسَنَةً
“Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat seraya berkata, “Wahai Rabbku, hiasilah ia (penghafal al-Qur’ân).” Maka iapun dipakaikan mahkota kemuliaan. Lalu al-Qur’ân berkata, “Wahai Rabbku, tambahkanlah untuknya.” Maka iapun dipakaikan jubah kemuliaan. Lalu al-Qur’ân berkata, “Wahai Rabbku, ridhailah ia.” Maka Allâh pun meridhainya. Kemudian dikatakan kepadanya (penghafal al-Qur’an), “Bacalah dan naiklah, untuk tiap-tiap ayat akan ditambahkan bagimu satu pahala.”. [6]
Dan masih banyak lagi keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan membaca al-Qur’ân. Lalu pantaskah kita ganti yang lebih utama ini dengan sesuatu yang rendah ?
Bukankah menyibukkan diri dengan tilâwah al-Qur’ân dan menghafalnya lebih utama daripada menyibukkan diri membaca koran ?
Mengabaikan al-Qur’ân dan beralih kepada koran akan menyebabkan kekosongan hati dan kehampaan pikiran. Sebagian orang jahil apabila sedang kosong, ia sibuk menelaah. Menelaah apa? Menelaah majalah, koran dan tabloid. Bukankah lebih baik mengisi kekosongan waktu dengan membaca atau menghafal al-Qur’ân ? Terlebih bagi seorang penuntut ilmu. Bahkan salah satu penyebab seorang penuntut ilmu itu mengalami future (sindrom) adalah beralih dari al-Qur’ân ke koran.
Termasuk bentuk fitnah pada hari ini adalah promosi-promosi terselubung yang banyak sebarkan oleh orang-orang kafir dan fasik melalui berbagi media audio visual maupun cetak, melalui program-program radio dan televisi, majalah, koran, buku dan selebaran-selebaran. Orang-orang jahil kembali menjadi korban dengan mengkonsumsi barang-barang itu. Merekapun percaya, meyakini kebenarannya, menggandrunginya dan akhirnya terpedaya. Tanpa sadar mereka mengagumi keyakinan dan ibadah orang-orang kafir. Orang-orang awam akan melahap semua yang ada di koran-koran itu.
Ini merupakan bahaya besar yang dapat menerkam setiap orang jahil yang tidak punya tameng ilmu untuk menangkis syubhat-syubhat tersebut. Sebagian orang yang merasa berilmu beralasan bahwa kesibukannya membaca koran adalah untuk mengetahui fiqhul waqi’, mengetahui perkembangan terkini. Inilah syubhat mereka. Sehingga membaca koran menjadi kegiatan utama sementara membaca al-Qur’ân menjadi kegiatan nomor sekian bahkan tidak masuk agenda sama sekali.
Syaikh Abdul Mâlik ar-Ramadhâni hafizhahullâh telah membantah syubhat seperti ini. Beliau hafizhahullâh mengatakan, “Alangkah besar kejahatan para pendidik itu! Karena mereka telah memalingkan umat dari penyakit sesungguhnya! Lalu bagaimana umat bisa mendapatkan obatnya?! Betapa besar musibah ini! Musibah yang memalingkan umat dari jalan Allâh Azza wa Jalla ! Memalingkan umat dari ilmu al-Qur’ân dan as-Sunnah, dari mengangungkan keduanya dan berkumpul di majelis-majelis Ulama kepada ilmu politik terkini dan berkumpul mendengarkannya dari media-media informasi politik audio maupun visual (radio dan televisi), koran-koran maupun majalah! Yang mana kejujuran adalah suatu hal yang tabu! Bahkan berlalu tanpa acuh di hadapan para pengikut al-Qur’ân dan as-Sunnah! Hobbi mereka adalah melihat video (film) dan membaca majalah al-Bayân dan as-Sunnah [7]. Setiap hari, setiap pekan bahkan setiap bulan tidak ada waktu dan kecenderungan mendengarkan ayat al-Qur’ân! Silakan tanya sendiri, sudah berapa lama kitab shahîhain (Shahih Bukhâri dan Muslim) nyaris tidak tersentuh sementara tidak sesaatpun mereka lepas dari koran yang menghidangkan berita-berita terkini dan berita-berita lalu! Semua urusan terpulang kepada Allâh!
Jangan buru-buru menyanggah! Karena yang saya paparkan tadi bukanlah ilmu hingga perlu dibahas, itu hanyalah kabar tentang realita yang terjadi!
Abu Nu’aim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al-Hilyah [8] dengan sanadnya dari seorang lelaki dari Bani Asyja’ ia berkata, “Orang-orang mendengar berita kedatangan Salman al-Fârisi di masjid. Merekapun ramai-ramai mendatangi beliau Radhiyallahu ‘anhu dan berkumpul di hadapannya, jumlah yang hadir ketika itu mencapai ribuan orang.
Ia melanjutkan, “Salman pun bangkit dan berkata, “Duduklah, duduklah! Setelah semua hadirin duduk, beliau Radhiyallahu ‘anhu membuka majelis dengan membacakan surat Yûsuf. Seketika saja mereka bubar dan meninggalkan majelis hingga hanya sekitar seratusan saja yang tersisa. Melihat itu Salmân Radhiyallahu ‘anhu marah. Beliau Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apakah kata-kata manis penuh tipuan yang kalian inginkan ? Aku bacakan ayat-ayat Allâh kepada kalian lalu kalian bubar?!”
Barangkali Salman al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu sengaja memilih surat Yûsuf karena di dalamnya terkandung anjuran qanâ’ah (mencukupkan diri) dengan kisah-kisah yang tersebut dalam Kitâbullâh, bukan dengan kisah-kisah dan hikayat-hikayat yang digandrungi orang banyak. Itulah yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla :
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik”. [Yûsuf/12:3]
Dan karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta membacakan kisah-kisah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepada mereka ayat-ayat yang diturunkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam surat Yûsuf ini.
Seperti itu pulalah yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika melihat orang-orang lebih suka membaca kitab yang bercerita tentang keajaiban-keajaiban umat terdahulu.[9]
Semoga Allâh meridhai para Salaf ! Betapa besar kesungguhan mereka dalam mengikuti sunnah nabi!”
Kemudian beliau melanjutkan, “Umar bin al-Khathtab Radhiyallahu ‘anhu serta para sahabat lainnya telah mendengar desas-desus bahwa raja Ghassân hendak menyerang mereka. Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk menuntut ilmu dengan alasan mengikuti perkembangan ! Sangat disayangkan sekali, bila Anda memasuki perpustakaan-perpustakaan umum yang biasa dikunjungi oleh para pelajar, akan Anda lihat mereka lebih banyak berkumpul di bagian majalah dan koran-koran sedang asyik mengulas berita. Padahal perpustakaan itu dipenuhi dengan koleksi kitab-kitab tauhid, tafsir dan hadits. Jarang sekali Anda lihat mereka menjamah kitab-kitab tersebut kecuali bila terpaksa, misalnya untuk menulis makalah untuk meraih gelar atau untuk mencari sesuap nasi. Kecuali segelintir pelajar saja yang memang benar-benar berminat menimba ilmu agama! Sungguh aneh memang! Berapa banyak diantara mereka yang tidak memiliki buku doa harian dan dzikir nabawi. Wajar saja karena dzikir dan wirid mereka bersama siaran-siaran radio dan televisi serta berita-berita koran ! Wallâhul Musta’ân.
Syaikh al-Albâni rahimahullah mengkritik perkataan Nashir al-Umar tentang referensi fiqih wâqi’ yang mengatakan, “Berita politik dan informasi dari media massa merupakan referensi terpenting sekarang ini. Dalam bentuk media cetak (koran dan majalah) maupun audio visual (radio dan televisi). Sebagai contoh : koran, majalah, tabloid, bulletin, informasi dari sejumlah kantor berita internasional, siaran radio dan televisi, kaset, piagam dan beberapa media informasi modern lainnya”
Salah seorang hadirin bertanya kepada Syaikh al-Albâni rahimahullah , “Bagaimana pandangan Anda tentang referensi tersebut ?” Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab, “Itu musibah! Kita semua tahu bahwa berita yang disebarkan oleh orang kafir ke negara-negara Islam hanyalah untuk memperdaya kaum Muslimin. Lalu bagaimana mungkin berita-berita seperti itu digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi ? Sebagai konsekuensinya, harus dibentuk tim wartawan atau reporter Muslim yang tugasnya khusus mempelajari berita-berita itu menurut kode etik aqidah dan agama. Tim ini harus independen, tidak boleh bergantung kepada pihak lain sebagaimana yang Anda singgung tadi. Sumber berita yang Anda sebutkan tadi tentu tidak sama dengan konsekuensi yang saya sebutkan ini !”
Nashir al-Umar berusaha membela diri, ia mengklaim telah memberi batasan-batasan dan pantangan-pantangan, ia menyebutkan diantaranya :
“Pertama, memegang teguh kaedah-kaedah dasar syariat, pedoman ilmiah dan logika dalam menganalisa berita, memprediksi kemungkinan dan meramalkan masa depan.
Kedua, mengecek kebenaran berita dan teliti dalam menyampaikannya. Saya telah menjelaskan masalah ini sebagai berikut : Tindakan yang tepat, menjauhi bahaya dan kesalahan serta memperhatikan batasan-batasan tersebut dalam menerima berita.”
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata: “Akan tetapi hal itu tidak mungkin diwujudkan. Anda meletakkan kaedah yang teoritis dan cuma berlaku di atas kertas saja! Hal itu tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan konsekuensi yang saya sebutkan tadi. Dan itu merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab kelompok tertentu apalagi orang-perorang. Sebagaimana yang kami ketahui, saluran radio BBC London bukanlah milik pemerintah, namun milik perusahaan swasta.
Syaikh rahimahullah melanjutkan: “Jadi harus ada lembaga atau badan yang didirikan atas kesepakatan negara-negara Islam untuk melaksanakan fardhu kifâyah ini dalam rangka membantu memahami berita-berita tersebut. Jika pemerintah tidak sanggup -–dalam hal ini pemerintahlah yang paling berhak dan paling kuasa melaksanakan fardhu kifayah tersebut– barulah badan-badan swasta yang ditangani oleh kaum Muslimin yang punya kepedulian dalam masalah ini yang melaksanakannya. Mereka harus menugaskan pekerja-pekerjanya untuk menukil berita-berita itu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Jika hal itu terlaksana barulah kita tidak lagi bergantung kepada pihak lain dalam mengolah berita musuh dan seteru kita. Kemudian barulah kita coba menerapkan batasan-batasan yang Anda sebutkan tadi. Sebab, tidak seorangpun dapat memastikan kebenaran berita-berita itu selama masih bersumber dari orang-orang kafir. Sama halnya bila kita ingin memastikan kebenaran sejumlah berita dalam Taurat dan Injil, manakah yang benar dan mana yang salah. Hal itu hanya dapat dilakukan setelah membandingkannya dengan berita orang yang terpercaya lagi tsiqah…..Jika mereka itu tidak ada, maka putuslah mata rantai orang-orang yang ingin menyelami fiqh waqi’ dan hanya bersandar kepada berita-berita yang datang dari negera kafir dan sesat serta berita-berita dari orang fasik dan jahat. Maka tidaklah mungkin merealisasikan gagasan-gagasan Anda itu. Oleh sebab itu, fiqh waqi’ seperti yang Anda sebutkan itu hanyalah teori belaka, tidak mungkin diwujudkan di alam nyata. Kecuali dengan mendirikan suatu badan yang menugaskan beberapa orang untuk menukil berita lewat jalur terpercaya sebagaimana halnya proses pengolahan berita yang tertuang dalam ilmu mushtalah hadits.”
al-Umar berkata, “Bagaimana jika kita menunggu sampai hal itu ada, wahai Syaikh?”
Syaik al-Albâni rahimahullah menanggapi, “Hal itu sangat sulit diwujudkan!”
al-Umar berkata, “Bukankah kita boleh mengambil faedah dari sebagian orang, wahai Syaikh….”
Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab: “Semoga Allâh memberkati Anda, berhubung melimpahnya berita dan banyaknya sumber berita dari kalangan kaum kafir, maka akibatnya seseorang akan tenggelam ditelan gelombang berita tersebut. Hal itu sangat sulit terealisasi sekarang ini !”[10]
Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Apa sandaran fiqih yang mereka sebut fiqh waqi’ itu ? Apakah koran, majalah dan siaran-siaran radio ? Bukankah berita-berita koran, majalah dan radio itu banyak bohongnya ? Media-media informasi cetak maupun eletronik sekarang ini tidak bisa dijadikan sandaran. Boleh jadi beberapa rancangan terdahulu sudah basi karena keadaan ternyata berubah! Bilamana seorang yang berakal memperhatikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini tentu ia dapat mengetahui bahwa seluruh prediksi yang mereka sebutkan itu tidak lagi riil. Oleh sebab itu menurut kami memalingkan para pemuda dari menuntut ilmu agama dan mengalihkannya kepada berita-berita fiqih waqi’ itu, membolak-balik majalah, koran dan mendengar siaran-siaran berita merupakan penyimpangan manhaj!”[11]
Itulah nasihat dari para ulama rabbani kepada umat khususnya kepada para pemuda dan kalangan penuntut ilmu. Janganlah terpedaya dengan syubhat-syubhat yang menyesatkan, sehingga kita terpalingkan dari kebenaran dan hidayah, wallahul musta’ân.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. HR at-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah Shahihah (3327).
[2]. HR Bukhâri dari Utsmân bin Affân Radhiyallahu ‘anhu.
[3]. HR Bukhâri dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
[4]. HR Bukhâri dan Muslim Abu Musa al-Asy’âri Radhiyallahu ‘anha.
[5]. HR Muslim dari Abu Umâmah Radhiyallahu ‘anhu
[6]. HR Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahihul Jâmi’ (8030).
[7]. Majalah al-Bayân dan as-Sunnah yang diterbitkan oleh Yayasan Muntada Islami Birmingham London UK yang dikepalai oleh Muhammad Surur! Bukan majalah as-Sunnah kita ini, seperti yang dikira oleh sebagian penyebar fitnah berusaha melakukan kebohongan publik dan fitnah keji, wallahul musta’aan.
[8]. Hilyatul Auliyâ’, I/203
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnul Dharis dalam Fadhâilul Qur’ân (88) dan al-Khathib dalam al-Jâmi’ (1490), dicantumkan juga oleh Ibnul Jauji dalam kitab Tarikh Umar, hlm. 145.
[10]. Dinukil dari kaset Silsilatul Huda wan Nûr bertajuk Fiqhul Waqi’, berisi rekaman dialog antara Syaikh al-Albâni rahimahullah dengan Nashir al-Umar pada tahun 1412 H.
[11]. Dinukil dari kaset bertajuk: “Dialog Syeikh Abul Hasan Al-Ma’ribi dengan Syeikh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin”
sumber: almanhaj.or.id