kotabontang.net - Kornet Daging Kurban Dalam Fiqih Islam,
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz
Mayoritas kaum muslimin diberbagai negara sepertinya sudah terbiasa dengan daging qurban yang mentah atau segar. Sebagian mereka berpesta pora dengan makan daging qurban secara berlebihan dan menghabiskannya dalam waktu singkat, yakni pada hari raya ‘Idul Adha dan tiga hari Tasyriq setelahnya. Hal ini disebabkan anggapan mereka bahwa daging qurban harus dihabiskan dalam masa-masa hari raya, sehingga ketika selesai masa-masa hari raya, tidak ada lagi daging qurban yang tersisa.
Namun bagi orang-orang miskin, atau mereka yang tertimpa bencana musibah seperti banjir tsunami, tanah longsor, gempa bumi atau gunung meletus yang mengakibatkan mereka kehilangan rumah, harta benda, bahkan keluarga, bahwa anggapan dan perbuatan yang demikian ini menyebabkan tidak ada lagi keceriaan, dan tidak ada lagi manfaat yang bisa mereka dapatkan, mereka kembali kepada kehidupan semula yang serba kekurangan setelah berlalunya masa-masa hari raya qurban.
Oleh karenanya, dalam rangka mengatasi hal tersebut, sebagian Negara muslim dan lembaga-lembaga dakwah dan sosial mengolah daging qurban dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, terutama kaum fakir miskin dan para korban bencana dalam bentuk kalengan (kornet), atau dalam bentuk lainnya seperti sosis, abon, dendeng dan semisalnya.
Pengolahan daging qurban seperti ini dipandang lebih praktis, tahan lama dan banyak manfaatnya. Akan tetapi bagaimanakah hukumnya menurut syariat Islam?
A. HUKUM DAGING QURBAN KALENGAN DAN SEMISALNYA
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang hukum pengolahan dan pendistribusian daging qurban dalam bentuk kalengan atau yang diawetkan agar dapat disimpan dan dimanfaatkan dalam waktu yang relative lama. Perbedaan pendapat ini dikarenakan adanya beberapa hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘Aliahi Wa Sallam yang melarang menyimpan daging qurban melebihi tiga hariTasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah).
Pendapat pertama: Diperbolehkan menyimpan dan mengawetkan daging qurban melebihi tiga hari Tasyriq, karena hadits yang melarangnya telah di-nasakh (dihapus hukumnya). Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, empat imam madzhab, dan selainnya. Mereka melandasi pendapatnya dengan beberapa hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘Aliahi Wa Sallam, diantaranya:
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَفِى بَيْتِهِ مِنْهُ شَىْءٌ » . فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى ؟ قَالَ : « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا » رواه البخاري
Dari Salamah bin Al-Akwa’ Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: NabiShallallahu ‘Aliahi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa diantara kalian menyembelih hewan qurban, maka janganlah ia menyisakan sedikitpun darinya di dalam rumahnya setelah hari (Tasyriq) yang ketiga (tanggal 13 Dzulhijjah, pent).” Ketika tiba (hari raya Qurban, pent) tahun berikutnya, mereka (para sahabat) bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah kami melakukan sebagaimana tahun lalu?” Beliu menjawab: “(Tidak), tetapi sekarang silakan kalian makan, memberi makan, dan menyimpannya, karena sesungguhnya pada tahun lalu manusia ditimpa kesulitan (kelaparan/krisis ekonomi, pent), sehingga aku ingin kalian membantu mereka (yang membutuhkan makanan, pent)”. (HR. Bukhari V/2115 no. 5249, dan Muslim III/1563 no.1974).
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ لاَ تَأْكُلُوا لُحُومَ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ». فَشَكَوْا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ لَهُمْ عِيَالاً وَحَشَمًا وَخَدَمًا فَقَالَ : « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَاحْبِسُوا أَوِ ادَّخِرُوا » رواه مسلم
Dan diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Wahai penduduk kota Madinah, Janganlah kalian makan daging qurban melebihi tiga hari (Tasyriq, tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, pent)”. Maka mereka mengadu kepada Rasulullah bahwa mereka memiliki keluarga, sejumlah orang (kerabat) dan pembantu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallambersabda: “(Kalau begitu) silakan kalian memakannya, memberikannya sebagai makanan, menahannya atau menyimpannya.” (HR. Muslim III/1562 no.1973).
Dan hadits-hadits shahih lain yang semakna dengannya.
Pendapat kedua: Dilarang menyimpan dan mengawetkan daging qurban melebih tiga hari Tasyriq. Karena hadits-hadits yang melarangnya tidakmansukh (tidak dihapus hukumnya, tetapi masih berlaku). Ini pendapat Ibnu Hazm, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahrahimahullah. (Lihat Al-Ikhtiyaaraat Al-Ilmiyyah, hal.71)
Imam Ibnu Hazm berkata: “Larangan menyimpan daging qurban tidaklah di-nasakh (dihapus hukumnya), melainkan karena ada suatu ‘illat (sebab). Jika‘illat itu hilang, maka larangan juga hilang. Jika ‘illat itu ada lagi, maka larangan pun ada lagi.” (Lihat Al-Muhalla VI/48).
Berdasarkan pendapat kedua ini, tidak diperbolehkan mengolah dan mendistribusikan daging qurban dalam bentuk kalengan (kornet dan semisalnya) kecuali jika ada kondisi darurat yang menuntut demikian. Sebab salah satu tujuan pengkalengan adalah agar daging qurban dapat disimpan dan dikonsumsi dalam waktu yang cukup lama, melebihi hari-hari Tasyriq.
(*) Tarjih (Pendapat yang kuat dan benar)
Setelah memaparkan dua pendapat ulama di atas beserta dalil-dalil dan alasannya, maka pendapat yang nampak rajih (kuat) adalah pendapat pertama yang dipegangi oleh mayoritas ulama, yaitu diperbolehkannya menyimpan dan mengawetkan daging qurban melebihi tiga hari Tasyriq karena hadits yang melarangnya telah di-nasakh (dihapus hukumnya).
Dengan demikian, mengolah dan mendistribusikan daging qurban kalengan (kornet), atau dalam bentuk sosis, atau semisalnya kepada para penerima juga hukumnya diperbolehkan, atau bahkan sangat dianjurkan jika memang keadaan kaum muslimin menuntut demikian.
Imam Nawawi berkata: “Yang benar adalah di-nasakh-(dihapuskan)nya hadits-hadits yang melarang penyimpanan daging qurban melewati tiga hari Tasyriqsecara mutlak, tidak ada hukum haram atau makhruh sedikitpun (dalam masalah ini, pent). Maka sekarang hukumnya mubah (diperbolehkan) menyimpannya melebihi tiga hari Tasyriq (yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah) dan memakannya sampai waktu yang dikehendaki.” (Lihat Syarah Imam Nawawi terhadap Shahih Muslim V/113).
Beliau (Imam Nawawi) melandasi pendapatnya dengan hadits yang diriwayatkan Buraidah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata; Rasululllah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
(نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثٍ فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ… ) رواه مسلم .
“Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, (tetapi sekarang) silakan kalian berziarah kubur. Dan aku juga pernah melarang kalian menyimpan (atau makan) daging qurban melewati tiga hari (Tasyriq, pent), (tetapi sekarang) silakan menyimpannya sesuka kalian.” (HR. Muslim II/672 no.977, dan III/1563 no.1977).
Diantara dalil yang menunjukkan di-nasakh-(dihapuskan)nya hadits-hadits yang melarang penyimpanan daging qurban melewati tiga hari Tasyriq secara mutlak ialah hadits yang diriwayatkan Abdurrahman bin ‘Abis, dari ayahnya, ia berkata:
قُلْتُ لِعَائِشَةَ أَنَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ تُؤْكَلَ لُحُومُ الأَضَاحِىِّ فَوْقَ ثَلاَثٍ قَالَتْ مَا فَعَلَهُ إِلاَّ فِى عَامٍ جَاعَ النَّاسُ فِيهِ ، فَأَرَادَ أَنْ يُطْعِمَ الْغَنِىُّ الْفَقِيرَ
“Aku pernah bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha; “Apakah RasulullahShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang memakan daging qurban melebihi tiga hari (Tasyriq)?” Aisyah menjawab: “Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallamtidaklah melarangnya kecuali pada tahun ketika manusia dilanda kelaparan, sehingga beliau menginginkan agar orang kaya memberi makan orang fakir miskin…”. (HR. Bukhari V/2068 no.5107).
Di samping itu, ada beberapa alasan lain yang memperkuat pendapat pertama yang menyatakan diperbolehkannya menyimpan daging qurban melebihi tiga hari Tasyriq dan mendistribusikannya dalam bentuk kalengan (kornet), sosis dan semisalnya, diantaranya:
Daging yang didistribusikan dan diterima dalam bentuk kalengan (kornet dan semisalnya) tetap bisa dikonsumsi oleh penerima bantuan meskipun telah berlalu waktu yang cukup lama, karena tidak cepat bau atau membusuk.
Ukuran/jatah yang diterima oleh para penerima lebih jelas dan mereka tidak saling berebut.
Mudah didistribusikan dan lebih praktis dikonsumsi oleh penerima, terutama bagi mereka yang mengalami keadaan darurat seperti korban bencana gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, atau banjir/tsunami, yang kekurangan peralatan masak.
B. SYARAT-SYARAT DIBOLEHKANNYA MENYIMPAN DAGING QURBAN MELEBIHI TIGA HARI TASYRIQ DAN MENDISTRIBUSIKANNYA DALAM BENTUK KORNET, SOSIS DAN SEMISALNYA:
1. Penyembelihan hewan qurban tidak boleh melebihi akhir hari Tasyriq.
Disyaratkan penyembelihan hewan qurban yang dikalengkan atau diawetkan agar tidak melampaui batas akhir waktu penyembelihan, yaitu menjelang waktu maghrib tanggal 13 Dzulhijjah (hari tasyriq terakhir).
Jika penyembelihan melampaui batas tersebut, maka qurbannya tidak sah, sehingga daging yang dikalengkan (dikornet) pun hanya dianggap daging kalengan biasa, bukan pelaksanaan ibadah qurban.
Dalil syarat ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
« كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ ».
“Setiap hari-hari tasyriq adalah (waktu) penyembelihan.” (HR. Ahmad IV/82 no.16798, Al-Baihaqi IX/296 no.19025, dan Daruquthni IV/284 no.49, dari Jubair bin Muth’im Radhiyallahu ‘Anhu. Syaikh Al-Albani berkata: “Hadis ini sahih.” Lihat Shahih Al-Jami` Ash-Shaghir II/834).
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata: “Jika matahari telah terbenam pada akhir hari-hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah], lalu seseorang menyembelih qurbannya, maka qurbannya tidak sah (yakni hanya sembelihan biasa, pen).”(Lihat kitab Al-Umm II/222).
2. Proses penyembelihan hewan qurban harus sesuai dengan tuntunan syar’i.
Sebab jika hewan qurban disembelih tidak sesuai tuntunan syar’i, maka daging hewan qurban tersebut menjadi bangkai, tidak halal dikonsumsi. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)
Dan firman-Nya pula:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
3. Daging Qurban harus diolah dengan bahan yang HALAL.
Yaitu meliputi bahan pengawetnya harus barang halal, dan alat-alat produksinya juga harus tidak ada najisnya.
Demikian pembahasan singkat tentang hukum daging qurban kalengan dan semisalnya yang dapat kami jelaskan. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Wallahu ta’ala a’lam bish-showab.
(Artikel majalah PENGUSAHA MUSLIM tahun 2011, sumber http://abufawaz.wordpress.com).