kotabontang.net - Presiden Joko Widodo dikritik atas kebijakannya tentang mobil dinas pejabat negara. Teguran itu bukan cuma karena Kepala Negara membuat kebijakan kontroversial seperti silang-sengkarut persoalan hukum-politik-ekonomi dalam penentuan calon Kepala Polri atau turun-naik harga bensin.
Kedua perkara itu menimbulkan pendapat pro dan kontra yang tajam, tetapi masing-masing dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan memiliki dasar yang kuat. Kali ini masalahnya ialah Presiden khilaf atau keliru alias lalai.
Uang panjar
Presiden telah menandatangani menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) yang menaikkan nilai uang muka atau panjar untuk pembelian kendaraan bagi pejabat negara. Perpres Nomor 39 tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan itu pada pokoknya adalah menaikkan panjar pembelian kendaraan menjadi Rp210,890 Juta.
Jumlah itu naik dibandingkan tahun 2010 yang mengalokasikan tunjangan uang muka sebesar Rp116.650.000.
Mereka yang mendapatkan uang panjar itu adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (560 orang), anggota Dewan Perwakilan Daerah (132 orang), Hakim Agung (40 orang), Hakim Konstitusi (9 orang), anggota Badan Pemeriksa Keuangan (5 orang), dan anggota Komisi Yudisial (7 orang).
Kritik kepada Presiden bahkan muncul juga dari partai pengusung Jokowi, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Seorang legislator partai itu, TB Hasanuddin, menyebut kebijakan Presiden tak sensitif pada rakyat. Publik kini terdesak pemenuhan kebutuhan pokok, sementara harga-harga melambung. Presiden malah menaikkan fasilitas bagi pejabat.
"Timingnya kurang tepat ketika rakyat sedang terjepit dengan harga-harga sembako akibat naiknya harga BBM (bahan bakar minyak),” kata Hasanuddin yang juga Ketua PDIP Jawa Barat melalui keterangan pers pada Minggu, 5 April 2015.
Legislator Partai Golkar yang juga Ketua Komisi XI DPR, Fadel Muhammad, terang-terangan menyebut kebijakan itu “keterlaluan". Menurutnya, kebijakan itu tak sejalan dengan semangat efisiensi anggaran yang dikampanyekan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, mengingatkan publik bahwa penambahan uang panjar pembelian kendaraan itu untuk pribadi para pejabat. Artinya, tak seharusnya Pemerintah memberikan fasilitas berlebih kepada pejabat, sementara mereka juga telah mendapatkan sarana penunjang kerja sebagaimana hak mereka.
Dia mengaku mengetahui memang ada anggaran serupa pada tahun-tahun sebelumnya. Tapi, penambahan atau peningkatan itu tak tepat karena bentuk alokasi haknya.
Presiden tak terang-terangan mengakui kesalahan. Kepala Negara hanya bilang tidak mencermati satu per satu usulan peraturan yang harus ditandatanganinya, termasuk Perpres itu. Dia malah menyalahkan Kementerian Keuangan yang tak menyeleksi kebijakan yang termasuk prioritas dengan yang tidak.
"Tidak semua hal itu saya ketahui seratus persen. Hal seperti itu harusnya di kementerian. Kementerian men-screening (menyeleksi) apakah itu akan berakibat baik atau tidak baik untuk negara ini," kata Presiden kepada wartawan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu, 5 April 2015.
Jokowi berkilah bahwa tak mungkin seorang Presiden memeriksa satu per satu dan terperinci usulan kebijakan yang harus dia setujui atau ditolak. Kalau memang harus begitu, tak ada gunanya Presiden memiliki pembantu seperti para menteri.
Presiden menolak disebut kecolongan. Dia hanya menjelaskan bahwa setiap kebijakan yang melibatkan uang negara yang besar seharusnya dibahas dalam rapat terbatas atau rapat kabinet.
Freeport
Kelalaian fatal Presiden tak sekali itu saja. Belum seratus hari menjadi Presiden, Jokowi membuat kebijakan blunder, yaitu mengizinkan PT Freeport Indonesia mengekspor mineral mentah, padahal perusahaan itu belum membangun smelter atau pembangunan pabrik pengolahan atau pemurnian.
Kebijakan itu berarti memperpanjang pembahasan amandemen kontrak kerja PT Freeport Indonesia hingga enam bulan sejak ditandatangani pada 23 Januari 2015. Keputusan itu berarti pula larangan ekspor bahan tambang yang diterapkan pemerintah sebelumnya kepada Freeport tidak berlaku.
Masalahnya ialah pemberian izin itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang melarang perusahaan tambang mengekspor mineral mentah jika tidak memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri.
Undang-Undang itu, pada pokoknya, mewajibkan setiap perusahaan tambang membangun smelter. Komoditas tambang tidak boleh lagi dijual begitu saja. Semua harus diolah melalui smelter sehingga memperoleh nilai tambah ekonomi.
Keberadaan smelter diyakini pengelolaan sumber daya alam memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat, terutama masyarakat di sekitar wilayah tambang. Smelter juga akan membuka lapangan kerja, menekan angka kemiskinan, serta memperkecil kesenjangan ekonomi antara masyarakat yang tinggal di pusat-pusat ekonomi dan masyarakat yang tinggal di daerah.
Presiden tak menjelaskan secara terbuka tentang kesepakatan Pemerintah dengan PT Freeport yang bertentangan dengan Undang-Undang. Menurut pimpinan DPR yang menemui Presiden untuk menanyakan hal itu dalam rapat konsultasi di Istana Negara pada 3 Februari 2015, Jokowi mengakui memang ada kesalahan.
"Memang dia (Presiden Joko Widodo) mengatakan ada dilema. Tapi dia mengakui juga menabrak Undang-Undang itu (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara). Tapi, Pak Jokowi mengatakan tidak terlalu mendalami. Belakangan Presiden mengakui ada suatu kesalahan," kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon.
Menurut Fadli, Presiden menyadari izin itu menyalahi Undang-Undang Minerba. Tetapi kesalahan yang utama ada pada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said.
"Saya sependapat kalau, misalnya, terkait menteri itu (Sudirman), termasuk perpanjangan izin ekspor Freeport saya kira menyalahi, dan menguntungkan pihak lain. Saya kira itu tindakan korupsi, kan, menguntungkan pihak lain. Korupsi kebijakan, dan harus dievaluasi," kata Fadli.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Sukhyar, berterus terang bawha Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 yang memberi kelonggaran ekspor konsentrat dengan beberapa syarat, tak sejalan dengan Undang-Undang Minerba.
Dalam pemberian perpanjangan izin ekspor konsentrat untuk Freeport, pemerintah berpegang pada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang tidak sejalan dengan Undang-Undang Minerba. Dalam aturan turunan itu, pemerintah kembali memberi batas waktu hingga 2017.
"Memang bertentangan, kita kasih waktu lagi lima tahun. Tapi pilihannya cuma stop semua operasional IUP dan KK. Pemerintah ditantang, tidak ambil sikap itu celaka. Kita juga memang belum siap bangun smelter. Energi tidak ada. Dilematis. Tapi memang tidak sesuai UU," kata Sukhyar.
Sumber : Viva