kotabontang.net - Obyektifitas Antara Tempo dan Metro TV, Semasa masa kampanye dari pileg hingga pilpres tahun 2014 beberapa mass media baik yang konvensional (menggunakan media kertas sebagai lembaran baca) dan online terpolarisasi menjadi dua kubu. Keberpihakan, jika disederhanakan untuk menyebutkan fenomena yang ada pada saat itu.
Meskipun ada yang berupaya meletakkan pada posisi netral dan tidak berpihak namun tidak bisa dipungkiri semua mass media menggunakan fungsi komunikasi yang di awaki oleh para praktisi dan interes dari pemegang modal, sebut saja Viva Group dan Metro Group. Dua group mass media terakhir ini malahan memperlihatkan kontradiksi yang luar biasa. Secara kasat mata, apa yang disiarkan oleh Metro adalah antitesa dari yang dipublikasi oleh Viva dan demikian sebaliknya.
Namun pada akhir-akhir ini, Viva dan salah satu membernya, TV One telah memulai untuk memposisikan dirinya lebih ke ‘tengah’. Beberapa tayangan yang menampilkan profil menteri di Kabinet Kerja dalam acara-acaranya seakan-akan memberikan sinyal kepada Metro untuk juga mulai menggeser lebih netral.
Penulis tidak akan berlarut-larut mengupas persoalan TV One dan Metro TV, sebaiknya malahan menyorongkan sebuah nama keren di jagat jurnalistik Indonesia, Tempo Group. Salah satunya adalah majalah Tempo. Semua penggemar bacaan ringan cenderung berat akan meletakkan Tempo sebagai salah satu referensi bacaannya. Kebengalan mass media ini terbukti dengan beberapa kali di somasi oleh obyek pemberitaan mereka. Malahan terakhir, mantan reporternya menjadikan bekas ladangnya untuk di ekspos dalam perspektif yang berbeda.
Tempo adalah sebuah cara untuk mendapatkan berita yang lebih unik dan menyebalkan. Dan begitulah, setelah sekian bulan menjadi corong Jokowi dan menjajakan sosok presiden ketujuh ini sedemikian rupa pada akhirnya membuat Tempo seakan-akan menjadi corong resmi Jokowi.
Sebuah cover yang menyebalkan telah membangunkan para pendukung Jokowi, pendulum telah mengayun kembali. Pendulum jurnalisme dari sudut pandang kekinian redaksi Tempo tentu saja.
Cover yang menyebalkan. Bayangkan saja sosok yang muncul dari refleksi dari Jokowi di drum BBM, wajah dari broker pemerintah dengan Sonangol EP telah menyeringai di balik jambang tebal Surya Paloh. Tempo seperti mengayunkan pedang reportase yang menyiratkan betapa kenaikan harga BBM bersubsidi ada aroma yang sangat tidak sedap. Aroma dari sosok ketua umum partai Nasdem yang secara militan dan ekspresif memberikan dukungan paling awal kepada pencalonan Jokowi.
Adigum “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” seakan-akan menuju ke laut realitas. Surya Paloh seperti menemukan kanal untuk menambah pundi-pundi kekayaannya melalui Nasdem dan kelekatan sosok Jokowi dengan Nasdem.
Prilaku Surya Paloh seakan-akan menjelma di corong medianya. Jika di jaman orde baru TVRI adalah corong dari pemerintah, maka Metro TV seperti melansir eksistensi dari keberpihakannya kepada sosok yang berkuasa. Menikmati semua olahan meja redaksi berbau Jokowi dan kabinet Kerja dari mata melek hingga tertidur diruang keluarga. Metro TV dengan gagah mempublikasikan semua poin-poin yang tidak berimbang terkait kebijakan yang berjalan. Misalnya pendistribusi kartu sakti yang ternyata defisit modal (anggaran belum tersedia tapi sudah dipublikasi bahkan dibagikan). Atau kisruh tiga kartu yang akhirnya direncanakan untuk di merged menjadi satu kartu sakti saja. Entah kenapa aroma-aroma vested interest seorang Surya Paloh seakan hampa rasa di meja redaksi Metro TV. Kemana penciuman mereka yang melebihi K-9 (seksi anjing pelacak di Swat)? Bisik-bisik adanya fee atau cipratan komisi dari Sonangol EP ke Surya Paloh.
Perusahaan ini bukanlah ‘barang baru’ bagi Paloh. Bahwa tahun 2009, Surya Energi mendapat pinjaman modal dari China Sonangol International Holding Ltd. Anak usaha Sonangol EP tersebut menyuntikkan dana US$ 200 juta ke Surya Energi untuk menggarap Blok Cepu.
Tempo telah kembali menjadi the bad boy dalam konteks perimbangan aspek informasi bagi warga. Telisik dari sekian reporternya di kisruh BBM telah menyiratkan ada yang ‘aneh-aneh‘ ditengah keputusan Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi. Apalagi BBM non subsidi telah menggelinding kebawah, harga keekonomian telah menyebakan produsen menurunkan harga jual dalam rentang 1,500 rupiah perliter dan mendekati harga premiun RON 88. Pertunjukan sirkus ala BBM!
Pemerintahan Indonesia (baca: Jokowi ) telah menunjuk Sonangol EP sebagai pemasok sebagian kebutuhan minyak Indonesia, mengurangi peran Petral. Akhir Oktober lalu, kesepakatan itu sudah diteken antara Pertamina dan Sonangol. Dan, ketidaktransparan pemerintah hingga saat ini mengenai profil actual production cost mulai dari lifting, refining hingga menjadi produksi jadi menyebabkan ada dugaan naiknya harga subsidi ini juga berarti tingginya harga beli pemerintah dari harga yang ditetapkan Sonangol EP ke Indonesia. Semakin tinggi harga jual tentu saja fee atau cipratan komisi semakin membesar. Dan Tempo sukses mengendus motif ini!
Obyektifitas adalah nilai jual sebuah media massa, apalagi media massa yang berorientasi kepada hard news (minimum dengan berita infotainment), Metro TV yang memiliki tagline Knowledge to Elevate, seakan-akan statis dan stag pada posisi kekritisannya. Dimulai saat Paloh dengan Nasdemnya menjadi komprador Jokowi untuk pemenangan pilpres kemaren.
Proses penandatanganan kerjasama pemerintah dengan Sonangol EP yang sedemikian cepat menimbulkan banyak spekulasi akan adanya proses negoisasi yang terbangun sebelumnya (baca: di era pemerintahan SBY). Proses negoisasi yang Paloh sendiri tidak menampiknya akan adanya keterlibatan dirinya untuk memberikan advise kepada Jokowi
“Tapi saran kecil saja,” ujar Surya kepada KONTAN di Kantor Partai Nasdem, Jakarta, Kamis (6/11), dengan nada merendah.
Saran kecil yang memiliki dampak hingga bahkan trilyunan rupiah tentu saja jika melihat profil konsumsi BBM di Indonesia. Dan entah kenapa Metro seperti mingkem, bisu tuli dan mendadak rabun parah melihat sebuah transaksi yang menyebabkan skenario sangat cepat dari Kebinet Kerja untuk menyudahi fasilitas dalam bentuk subsidi ke rakyat Indonesia?
Tempo telah memulai menjadi media yang melihat sisi-sisi lain (cover bothside ) dan menafikan betapa media ini dahulu memposisikan dirinya seakan-akan sebuah unit public relation dan juru kampanye Jokowi. Setelah resmi Jokowi menjadi presiden, media ini kembali memerankan fungsi awalnya yakni media untuk menyodorkan materi jurnalistik yang di anggap oleh redaksi telah memenuhi kaidah jurnalistik; berimbang dan independen.
Sedangkan Metro TV masih dalam euforia dan mabuk kemenangan plus embel-embel sebagai humas dari Paloh dan Nasdem. Tentu saja.
Salam Obyektifitas Ah!
Tauatan Rujukan
http://industri.kontan.co.id/news/surya-paloh-di-balik-impor-minyak-angola
http://fastnewsindonesia.com/article/surya-paloh-akui-di-balik-impor-minyak-angola-diragukan-hemat-25
Sumber :
http://regional.kompasiana.com/2014/11/24/obyektifitas-antara-tempo-dan-metrotv-688273.html